Abstrak dalam Memori
- Robin Dos Santos
- Oct 31, 2016
- 2 min read
CAILØR MEDIA ******

Ketika aku hadir tanpa berita kau terharu melihatku, antara gembira dan sedih menjadi satu irama. Kala itu wajahmu yang mulai kering seperti pedalaman Afrika masih mampu menyimpan rahasia dalam ajaran alkitab kuno.
Di atas tanah beralas tikar hasil pekerjaanmu yang tidak laku di Pasar, kita berbagi cerita dan makanan. Seolah- olah jurang kematianmu lebih dekat detik itu karena usia memaksa ketika aku bersamamu.
Aku tenggelam dalam memoriku sendiri. Lautan kejadian terus datang melalui ingatan. Kehadiranku lebih istimewa bagimu daripada orasi partai politik nasional yang membosankan. Atas nama rakyat dan kemiskinan mereka berpesta-pora.
Lupakan mereka.
Mari kita bersulang, melanjutkan cerita tentang kesederhanaan dan kemiskinan bukanlah takdir.
Kemewahan dan kekayaan bukanlah rejeki.
Mereka menjadi kaya karene ada yang miskin.
Kita tak akan lari dari bayagan kita selama masih ada terang. Dan sebagian dari kita bersembunyi dibalik kaca, dengan menipu diri sendiri;
Ini aku
Aku ada
Aku kaya
Aku cantik
Tidak ada pengakuan tentang kejelekan dan keburukan didepan kaca.
Kemudian melakukan pengakuan dosa di gereja adalah suatu kebohongan dibalik lukisan Mona Lisa.
Di sini, aku mulai rajin menulis, aku jadi rindu, rinduku padamu.
Ketika aku mulai menulis semua peristiwa dalam bayangan hitam hadir sendiri.
Aku bukan seniman yang melukis dengan warna, tetapi aku melukis dengan kata. Kata jadi kalimat, kalimat jadi paragraf kemudian lahirlah karya.
Tempo dulu, kau mengajariku untuk membenci musim kemarau panjang.
Musim dimana kita terjebak seperti binatang lapar yang mencari makan di hutan - hutan kering, tandus.
Kini kau ditelang zaman.
Kau tenggelam bersama usiamu dalam penantian puluhan tahun.
Kau mengajariku untuk terus bercerita dan bercerita.
Bercerita di bawah bulan purnama Timur.
Bagiku berat untuk ucapkan selamat jalan untukmu.
Walau kini kau membisu bersama pudarnya waktu, tetapi kau selalu hadir dihatiku bersama sastra lisanmu.
Untuk Nenekku Marta Viana (almarhum)
Kita pernah bersama dalam suka maupun duka, bukan?
Aku tahu, sejak dulu hasil kerja kerasmu tidak laku di Pasar tradisional.
Tapi tak apalah. kita harus terus berjuang. mungkn saja nasip belum beruntung.
Kematian seseorang hanya soal waktu dan tempat bukan takdir atau mitos dalam filsafat tradisional kuno.
Comments