Catatan Dari Lospalos
- Robin Dos Santos
- Jul 9, 2017
- 9 min read
Setelah Xanana Gusmão ditangkap oleh Kopassus.

[kisah-kisah sederhana] Malam itu, semangatku berapi-api seolah-olah baru mendengar kepala sekolah berpidato, besok liburan panjang. Tapi tidak. Aku benar-benar lupa hari bulan dan tahun. Namun seingatku di musim kemarau yang panjang. Ya. Besok aku akan ke Dili bersama om aku. Dua hari yang lalu aku sudah menulis surat izin kepada walikelasku bernama Leodata Coreia. Bicara soal guru-guru yang galak dia (Leodato) adalah orang pertama. Bulu alisnya tebal, dan bila bepergian selalu membawa parang tradisional. Isi surat ujin: Kepada yang terhormat bapak guru/wali kelas III SD 6 Pairara Berhubung besok, saya Robin dos Santos tidak bisa mengikuti mata pelajaran seperti biasa, dengan alasan saya pergi ke Dili untuk tiga atau empat hari. Sekian dan terima kasih atas perhatian bapak Robin Dos Santos (tandatangan) Hari pertama aku menulis surat izin untuk pergi jauh melihat kota Dili. Kota dalam dunia imajinasiku. Kota yang dipenuhi mobil dan rumah-rumah bertingkat mewah dalam buku pelajaran ilmu sosial. Mungkin itu adalah kota impianku selama ini yang hanya didengarkan telingaku yang sedikit kotor. "Kamu sudah siap untuk besok, Moi?" "Sudah siap om" Nama "Moi" adalah nama kecilku. Dalam tradisi timur setiap individu memiliki nama yang tidak sama. Akan tetapi kami saling mengenali satu sama lain. Tradisi kuno ini dari generasi ke generasi selalu dijaga secara ritual maunpun speritual. Malam itu aku tidak biasa tidur seperti perempuan hamil tua yang hanya menunggu hari kelahiran. Rumah kami adalah rumah tradisional Lospalos. Semua pesan dari nenekku aku hafal diluar kepala seperti rumus matematika yang sederhana. Setiap perjalanan dalam hidup adalah ujian, dan aku pergi melihat dan merasakan segala yang aku lihat dan rasakan. Siapa tahu suatu hari aku akan menulis kembali, sebab apa yang aku lihat belum tentu diketahui kawan-kawan sepermainanku. Pagi datang terlalu cepat. Apakah ada yang salah dengan gerakan matahari, atau pikiranku yang hanya berputar-putar. Seharusnya biarkan aku bermimpi dulu dengan kain obralan. Seharusnya aku masih mendegar cerita nenekku. Seharusnya malam jangan cepat berlalu. Di luar matahari muncul dengan sendiri. Di pinggir jalan kawan-kawan sepermainan bola menunggu dalam diam. Ada yang duduk ada pula yang berdirit tanpa baju dengan seluruh tubuh yang kotor seperti peta perang gerilya Falintil. "Jangan lupa bawa cerita dari Dili" Pesan seorang kawan sambil melambaikan tangannya. Aku hanya diam dan terus melangkahkan kakiku dengan sandal jepit. Dalam perjalanan menuju jalan utama (jalan menunggu bus ke kota Dili) orang-orang sederhana itu berhenti dan berpesan, hati-hati di jalan. Seorag anak kecil lagi sakit dibalik daun jendela tanpa harapan masih melemparkan senyum. Aku merasa orang penting dengan umur sekitar dua belas tahun. Bagaikan anak seorang pangeran kecil di abad ke-17. Melewati kerumunan masyarakat sipil yang mungkin sehari hanya dua kali makan di musim kemarau. Semua mata melihat kami. Tidak ada yang perlu ditutupi, terus berjalan di jalan yang belum aspal. Hebatnya aku menjadi orang Desa, baru saja pergi jauh mendadak jadi buah bibir masyarakat. Akhirnya, jarak sekita empat atau lima kilometer kami lewati dengan napas pendek. Aku duduk dan mulai bertanya, apakah masih ada bus. Tentu. Kita menunggu yang bus paling belakang. Jawab omku. Beberapa menit telah berlalu, jalan ini sangat sepi, suara mobil jarang sekali didengar, itu sebabnya binatang dan manusia sering tidur-tiduran di jalan aspal. Yang hanya ditakuti masyarakat adalah mobil tentara buatan Jepang, HINO. Berwarna hijau tua. Semua orang takut sebab mobil itu memiliki nama yang unik. "Tidak Apa-Apa". Yang artinya, sewaktu-waktu dia menabrak binatang atau manusia sekalipun, mobil hantu itu terus melaju dengan kencang. Tak tahu julukan nama itu dari mana tapi itulah yang selalu diingat masyarakat yang tinggal dekat jalan umum. Bus itu datang dengan kecepatan pelang. Omku pergi dan bercakap-capak dengan kondekturnya. Mereka kawan lama di era penjajahan bangsa koloni Portugis. Badanya kurus, model rambutnya keriting seperti Ahmad Albar, seorang musisi Rock legendaris yang dimiliki Indonesia di era 80-an. Tidak lama lagi kami naik, aku lupa berapa penumpang yang ada dalam bus. Setahuku kebanyakan di dalam bus adalah pelajar dan ada yang hanya pergi melihat kota Dili, seperti aku. Aku disuruh omku duduk dekat jendela agar bisa melihat pohon-pohon dan rumah-rumah berlari. Suatu kepercayaan umur sepertiku melihat dunia dari atas mobil dengan imajinasi luar biasa. Bahkan sampai-sampai aku harus mencoba menghitung pohon-pohon dan rumah-rumah yang beratap daun kelapa. Begitu bus memasuki kampung atau Desa, orang-orang berhenti dan melambaikan tangannya, seolah-olah dengan ucapan damai dan selamat jalan. Tuhan bersama kalian. Masih tersimpan dalam memoriku. Mereka tertawa, ada yang meloncat-loncat, berteriak memanggil nama bus itu, Imanuel. Betapa senangnya hati ini, kami seperti saudara hanya beda bahasa dan suku. Dan aku seperti seorang filsuf yang hanya duduk di sofa melakukan perbandingan antara apa yang aku lihat dan lewati dalam udara kosong. "Sekitar jam sepuluh lewat kita akan makan di Baucau. Kita akan tiba di Dili sekitar jam tiga lewat." Jelas omku yang bernama Benedito dos Santos. Dia adalah guru kepala sekolah dasar. Soal urusan waktu dan jarak bukanla soal baru dalam ujian nasional. Tapi semuanya masih dalam perkiraan waktu. Perutku belum protes, perlahan aku mulai menutup kaca jendela. Kata tanteku jangan membuka jendela dalam waktu yag lama, bisa-bisa aku masuk angin tidak makan banyak nanti. Aku ingat pesan-pesanya lalu menutup diri. Sekali-kali mencoba untuk tidur sebentar tapi hasilnya nihil. Bus yang kami tumpangi mulai memasuki kota lama Baucau. Dilihat dari kiri dan kananku masih ada bangunan tua yang terawat dari zaman penjajahan Portugis. Seorang polisi sibuk mengurus lalulintas. Anak-anak dengan seragam sekolah melintas jalan dengan hati-hati. Kota ini kota ribut, terdengar suara yang tidak jelas. Tidak jelas apakah orang-orang ini seramah seperti di jalan yang telah kulewati. Akan tetapi hanya satu yang dikejar, uang. Ya. Baucau memang kota bisnis kedua setelah ibukota Timor- Timur, Dili. Bus berheti di depan rumah-rumah berderetan. Awalnya aku tidak tahu sebab modelnya seperti bengkel. Ternyata itu adalah Ruma Makan Ibu Mira. Pokonya terserah mau namain apa. Yang Jelas bukan Ruman Makan Bapak Paijo. Kalau nama bengkel maklum masih paham aku. Jadi, urusan nama untuk bisnis gender itu sangat berpengaruh. Padahal tukang masaknya mungkin saja seorang lelaki. Kami mulai masuk dan menarik kursi untuk memesan makanan. Betapa senangnya perutku, hari ini seperti yang kedua kali aku makan di warung dengan pilihanku sendiri. Aku makan ikan dengan sayur hijau, sedikit sambal. Bila aku ingin nambah lagi silakan. Kata omku. Jangan malu, nanti dia bayar. Pokonya aku makan sampai puas. Ini liburan bukan buronan, jadi nikmati sajalah. Sambil makan mataku melirik ke kiri dan kanan. Dimana penumpan-penumpan yang tadi? Mungkin mereka di luar. Jawabnya. Setelah makan siang selesai kami kembali ke bus, ternyata mereka membawa bekal makanan yaitu ketupat dan botol air putih. Mereka menunduk dan makan dengan kemalu-maluan. Tiba-tiba diantara mereka ada yang menawarkan, mau makan lagi. Sudah makan aku om. Benar, orang kampung kalau pertama kali makan di warung merasa diri hebat. Kalau hanya mau makan ketupat di rumah juga bisa. Kalau liburan ke kota sekali-kali gengsi dong, seperti drama komedi Indonesia. Di tengah perjalanan menuju tujuan utama, bus ini sangat pelan soal kecepatan. Seperti kerbau tua yang hanya menunggu kematian dalam pesta rakyat. Ekonomi keluarga memaksanya untuk terus bergerak. Warnya merah tua, desain depannya seperti helikopter tentara Amerika yang memerangi rakyat Vietnam, walau misinya gagal tetapi memenangkan perang di film Hollywood setelah adobe after effects. Ketika bus itu mendaki medan yang sulit, secara spontan dalam hatiku mulai berdoa rosario. Bila terjadi hal-hal yang tidak dinginkan setidaknya aku ingat Tuhan sebelum mati. Setelah perasaan ketakutan itu, doa dan Tuhan perlahan aku lupakan. Itu sebabnya kenapa aku tidak terlalu percaya pada orang yang rajin berdoa. Di jurang yang tinggi, dan merupakan medan yang paling berbahaya dalam perjalanan menuju Dili. Bus berhenti, satupersatu penumpang turun. Ada yang berdoa sebentar dalam diam. Aku tidak tahu untuk apa berdoa. Menurut cerita om, beberapa tahun yang lalu bus dari Lospalos ke Dili bernama 555, masuk jurang ini, yang lolos hanya kodekturnya. Siapapun yang lewat jalan ini, setidaknya berdoa atau hanya berhenti sebentar untuk berdiam diri, bercermin pada kecelakaan yang menyelang korban banyak. Bus masih melaju dengan putaran roda lambat. Inilah bus yang paling tertua dari Lospalos. Seperti yang tertulis di jendela kaca, biar lambat asal selamat. Jendela kubuka, pohon-pohon terus berlari, langit biru, burung-burung bersayap putih terbang menembus awan mengikuti kami. Dili belum nampak dipermukaan bumi, semangat membara, aku yang belum merasa kelelahan. Lalu duduk seperti filsuf tua belum tamat menulis buku, bahwa surga dan neraka hanya permainan metafora sang penulis dari abad ke abad. Cepat atau lambat kami sudah tiba di Dili dengan selamat. Jari tangan dan kaki masih berjumlah dua puluh. Dili luar biasa, menajubkan. Emperan toko-toko Cina, Jawa masih buka, para pengunjung seperti semut. Cerita-cerita dari orang-orang dewasa tentang kota ini sudah kulihat walau baru dimulai di jendela kecil. Di trotoar kecil orang-orang berjalan, tidak pasti pulang atau pergi. Seragam sekolah dari TK sampai SMA ada semua, masing-masing berdiri dalam ruang dan waktu yang berbeda. Mungkin diantara ratusan orang di jalan ini ada tanteku bernama Anjelina. Rambut keriting yang bergelombang membuat dia cantik lebih natural apa adanya. Mungkin Lili Ribeiro belum bercita-cita jadi artis. Ia masih Lili yang remaja dikejara lelaki dalam sinetron. Ketika pertama kali kakiku menginjak kota Dili dengan sadal jepit, Kay Rala Xanana Gusmao sudah diinterogasi Kopassus hanya mengenakan celana pendek. Sang pemimpin gerilya yang menjadi target orang nomor satu musuh Suharto sudah "diamankan" di Cipinan. Tapi aku tidak tahu politik apalagi berpolitik. Dimataku aku ingin melihat apa yang belum dilihat. Hidup adalah petualangan adalah cerita. Bus yang kami tumpangi sudah berhenti di tempat tujuan. Tepatnya di depan Merkado Lama (Pasar Lama). Aku disuruh omku tetap berdiri di tempat yang telah ditunjukan. "Tetap berdiri di sini, jangan kemana-mana. Aku pergi bicara sama kondekturnya". Aku merasa yang lebih pendek diantara puluhan orang. Suara-suara ribut datang memasuki telingaku dalam bahasa Tetun yang sama sekali tidak mengerti. Bicara apa mereka. Tapi sebentar. Aku bisa bicara bahasa tetun "Bondia. Obrigado" (selamat pagi. Terima kasih) Kami memasuki Merkado Lama. Bagus sekali. Dalam hatiku. Aku tidak melihat keramik putih, mataku terus melirik ke dalam etalase-etalase kaca tebal. Di dalamnya ada perempuan cantik, bahkan lebih cantik dari penjual itu sendiri. Masing-masing mengenakan busana warna-warni. Mereka tidak bergerak sekalipun apalagi senyum. Orang-orang kota dalam kaca tidak seperti orang-rang pedalaman. Mereka bisa senyum walau baru saja berargument dengan saudaranya. Senyum itu selalu hadir seperti mentari pagi yang cemerlan tetapi bukan di sini. Sambil berjalan pikiranku mulai membaca situasi lapangan seperti teroris yang sebentar lagi akan meledakan diri. Merkado Lama itu arsitekturnya berbentuk huruf "T" yang memiliki nama dalam bahasa Portugis 'Mercado Municipio'. Pada mulanya, bangunan tua itu warisan kolonial bangsa Portugis. Di abad ke-18, Timor Leste memiliki kekayaan kayu cendana dan lilin dari madu tawon, hasil bumi ini kemudian diperdagangkan orang-orang Portugis ke benua Eropa dalam saingan pasar internasional kala itu. Setalah tiba di rumah kos-kosan yang sangat sederhana. Kedua om aku yang masih sekolah di SMA kristal, Joao F. Amaral dan Jonio Pais Viana. Rumah itu hanya memiliki satu kamar, sebuah kompor minyak berwarna hijau telah berkarat. Kamar mandi diluar dengan menimba air dari sumur yang lumayan. Bila musim kemarau tiba, perlahan-lahan sumur ini akan kering. Tidak seperti di desa kami. Di sana air datang dari mata air, terus mengalir sampai ujung dunia. Sore harinya kami makan apa adanya, aku lupa sayurnya. Aku tidak bicara banyak. Duduk di kursi malas. Kedua omku pergi latihan bela diri untuk membela diri dalam situasi tertentu. Sementara omku Benedito memilih tidur karena kecapean. Aku tahu jam tidurnya. Setelah lima belas menit, diam-diam aku mulia membuka pintu lalu ke luar melewati jalan yang telah kugariskan dengan sepotong kayu untuk tidak menghilangkan jejak. Memang, orang kampung kalau masuk kota mereka lebih percaya diri. Mencoba hal-hal baru yang menantang hidup. Jiwa pemberontak itu sudah menjiwai. Ayam hutan saja aku tangkap, Dili hanya ramai dengan lautan manusia dengan budaya baru, itu saja. Aku memasuki Merkado lama. Inikah yang namanya modernitas dalam komunitas yang macet dengan lalulintas. Aku berjalan tidak seperti orang kota, gayaku sedikit unik dan berbeda. Aku berjalan sambil kepala dan badanku ikut berputar. Di depan toko ada baju obralan yang harganya sudah tertulis, hanya lima ratus rupiah. Begitu senangnya aku, kuambilkan uang kertas bergambar monyet, lalu mengabil baju kaos bergambar Superboy. Aku tidak suka negosiasi. Dan baju itu seratus persen milikku. Aku melangkah mundu, tidak bernyat keluar dari garis, cepat-cepat aku harus balik ke rumah sebelum omku bangun. Aku ke sini hanya utuk membeli baju bergambar superboy dan sedikit cuci mata bukan cuci gudang. Sambil berjalan menuju pulang, beberapa anak-anak seumuran dengan aku datang dari arah selatan. Aku masih ingat. Yang berjalan paling depan tidak mengenakan baju, hanya celana pendek tanpa alas kaki. Kemudian diikuti sekita empat atau lima anak-anak seperti pengawal setia. Dari jauh gerakan jalannya seperti dalam film American Gangster. Sebuah film berdasarkan kisah sejarah hitam penyeludukan heroin yang dibintangi aktor terkenal Denzel Washintong dan Russell Crowe. Aku sedikit gugup, menyudutkan diriku di etalase kaca melihat perempuan-perempuan cantik tak bergerak. Bukannya aku takut berkelahi dan tidak pernah melihat film aksi. Aku ingin mereka cepat berlalu dan situasi kembali normal. Semakin dekat aku mencari posisi. Kelihatanya si jagoan itu terlalu kelebihan kata. Dia seperti seorang anak yang putus sekolah dan memilih belajar hidup dari jalanan setelah disuruh dengan paksa menghafal lagu Indonesia raya. Ketika aku pulang melewati jalan aspal yang mengeluarkan bau amis, garis-garis di pinggir jalan perlahan mulai hilang karena debu. Aku hafal, di rumah itu ada pohon mangga yang belum berbuah. Aku pun tiba dirumah dengan baju pembelianku yang kumasukan dalam bajuku agar tidak dilihat omku, bahwa beberapa menit yang berlalu aku ke pasar dan membelinya sendiri dengan uang pemberian nenekku. Selama tiga atau empat hari di Dili, aku lupa kami semua berjalan-jalan kemana. Setahu Vilaverde dan Becora karena ada keluarga yang sudah cukup lama menatap di sini. Yang lainnya aku lupa. Maklum sudah terlalu lama. Setelah liburan di Dili, kami kembali dengan bus yang sama. Melewati 270 km dari Dili ke Lospalos. Dalam perjalanan ke luar dari kota ini orang-orang di jalan tidak melambaikan tangan apalagi senyum. Orang kota lebih memikirkan uang dan karir tidak seperti orang kampung di pinggiran jalan. Bagi mereka, senyum dan ucapan selamat jalan lebih penting daripada soal urusan perut dan harta. Tiba di Rumah dan kembali menjadi orang Desa. Hatiku sangat bahagia bahkan lebih bahagia melihat kota Dili dalam kenangan. Malam itu, di pinggir jalan kawan-kawan seusiaku mulai mengumpulkan daun-daun kering. Sampai-sampai ada yang berteriak seolah-olah memberika pesan pada yang lain bahwa aku telah kembali. Aku masih di dalam rumah bersama hari yang mulai gelap. "Tante, om. Aku ke jalan, di luar kawan-kawan antusias menungguku." "Silakan! Nanti jam makan tiba datang dan makan dulu baru bercerita" Jawab tanteku. "Ya tante. Aku hanya di depan rumah saja." Rupa-rupanya mereka semua menungguku. Api mulai dinyalakan. Aku duduk di tengah mereka membawa kabar baru. Malam yang tenang, aku seperti raja kecil dan siap menceritakan cerita petualanganku ke kota yang selama ini hanya didengar dari daun telinga mereka. Aku mulai bercerita. Malam itu semangatku berapi-api seolah-olah mendengar kepala sekolah berpidato, besok liburan panjang. …………………….

ROBIN dos Santos
コメント