Belajar Sastra Lisan Dari Ibu
- Robin Dos Santos
- Oct 14, 2016
- 2 min read

"kalian seharusnya bercerita tentang mimpimu".
CAILØR MEDIA
*********************
AKU masih tidur, ibuku marah-marah bila aku belum bangun dan membersikan diri, berangkat ke sekolah.
Di atas meja, bubur nasi putih sudah tersedia dengan segelas air putih.
Rumah kami beratap sen aluminium, lantainya tanah, berdingding bambu yang belum lunas dibayar. Bila malam tiba ibuku selalu bercerita ceritra rakyat.
Di rumah itu seolah-olah tidak ada ruang rahasia seperti di gereja tua, Paris. Sampai-sampai anak-anak tetangga datang untuk mendengar cerita. Karena bagi kami anak pantai, ibuku seperti penglipurlara.
Dia adalah anak seorang petani, orang tuanya memiliki kerbau dan lahan-lahan sawa yang cukup luas. Sebelum invasi rezim Soeharto hampir semua keluarga dan saudaranya tinggal di pengunungan.
Di akhir tahun 1975, tentara-tentara datang kemudian membakar kampung mereka dengan kobaran api. Semua penduduk dipaksa pindah dengan suara-suara mortir dan senjata.
Tempat bermain dia waktu kecil itu sebagian masih ada setelah kurang lebih lima puluh tahun dia pergi untuk melihat masa lalunya. Tempat itu masih semula waktu dibakar dan seperti bangunan tradisional tua yang belum ditemukan para arkeologi terkenal dari Brazil.
Pada Jaman penjajahan Portugis, Partai Fretilin yang berideologi kiri membuka sekolah dasar di hutan. Ibu mengikuti proses belajar dengan bahasa Portugis, mereka menulis dibatu. Suatu hari aku bertanya, dengan sedih ia bercerita memori itu kembali, seolah-olah memori itu membuka luka lama yang belum sembuh. Beberapa keluagrnya mengikuti Partai Fretilin kemudian ditangkap oleh pasukan RPKD lalu dibunuh.
Dengan pengetahuan itu setidaknya dia bisa membaca dan menulis. Ibunya (almarhum) adalah dulu suka bercerita untuknya sebelum tidur. Kematiannya merupakan pukulan berat baginya, seolah-olah kematian sang tokoh sastra idolanya.
Hampir semua ceritanya seperti kerajaan dalam dunia Harry Potter. Dan dunia yang tidak bisa diterima dengan akal sehat dalam aliran surealisme yang ditulis sastrawan besar Kolombia Gabriel Garcia Marques. Bila ceritanya kehabisan ide, dia lebih memilih untuk berfikir kembali tentang masa kecilnya.
Pada suatu pagi, kami dibangunkan dengan suara ayam peliharaan kami yang cukup ribut. Sebelum kami memasak, ibu mulai membuka diskusi pagi.
"Anak-anak, semalam siapa yang bermimpi?".
Bila diantara kami ada yang bermimpi dia harus bercerita tentang mimpinya. Jika mimpi itu mendapat uang, dikejar anjing, jatuh dari pohon. Ibu akan meramalnya satu persatu. Misalnya, dalam mimpi kita kehilangan uang itu berarti suatu hari kita mendapat uang. Seperti dalam pengertian kosmologi dalam filsafat sastra.
Pada malam hari, rintik-rintik hujan turun membuat atap rumah kami seperti dibom dengan air hujan dalam alkitab kejadian lama. Kami berteriak mengikuti dan bersabdah pada Tuhan. "hujan turun, kami merindukanmu, hujan turun kami ingin bermain denganmu, hujan turun kami ingin melihat rumput hujau." Dan biasanya ibu lebih memilih diam dan menutup dirinya dengan selimut tebal.
Tahun berlalu dengan cepat, waktu berputar di London, Indonesia merdeka berkali-kali di hari senin. Aku bercita-cita ingin memiliki perpustakan pribadi, aku sukses dengan buku-buku sastra koleksi dunia. Aku jadi ingat pada ibuku bahwa sastra adalah bercerita dengan imajinasi, kejujuran, mencari nilai-nilai kemanusian dalam realitas kehidupan.
Robin
Pecinta karya sastra
Comments