Sepotong Senja Untuk Tuan Lois
- Robin Dos Santos
- Sep 13, 2016
- 4 min read
CAILØR MEDIA
---------------------
Mentari pagi masih menghangatkan tubuhku. Deburan ombak memecah belah pantai. Pantai itu seperti Rio de Janeiro yang dimiliki Brazil, hanya saja tidak terlihat perempuan-perempuan muda bertelanjang dada berjejeran di pasir, seperti pembunuhan secara masal oleh rejim Orde Baru dua hari yang lalu.
Aku menghabiskan sebagian sisa masa kecilku di pantai, mengejar gadis-gadis miskin pesisir. Dia berlari malu di bibir pantai seolah-olah memancing kejantananku. "Datang dan kejar aku, kalau kamu laki-laki. Setelah kau menangkapku, seluruh tubuh dan daging ini milikmu." Ucapnya sambil berlari kecil. Aku mengejarinya dengan sekuat tenaga bagaikan peluru tentara SS Jerman dengan anjing pelacak darah Yahudi.
Pertengahan abad ke 18. Lautem adalah kota kecil yang dibangun tenaga pribumi dengan kerja paksa oleh arsitek Portugis. Kita bisa melihatnya melalui petualangan kecil di bukit-bukit. Sisa bangunan bersejarah dengan berbahan kapur dan karang di laut menujukan bahwa, orang-orang kolonial Portugis dulu bukan pencinta cagar alam di dasar laut.
Bangunan itu masih cukup kuat hingga bertahan sampai ratusan tahun. Aku tidak memiliki memori visual dalam catatanku, sehingga tidak menujukan jejak langkah para budak pekerja.
Akan tetapi....

Lautem, masih populer dengan alkohol tradisional dan ikan saboka (ikan bakar pedas) yang dijual di Pantai, tempat kecilku bermain bola, berkelahi, berenang, berpacaran, merampas ikan dari pendatang Buton, bahkan sampai-sampai bertengkar dengan BTT (Batalion Tahi Toh) Banyak kisah seperti roman 1970-an yang pernah terjadi di sini dalam melodi Led Zeppelin. Tapi siapa yang akan menceritrakan kisah itu, sebuah kisah sederhana dari ujung Timur pantai Lautem.
Pagi ini miliku. Aku masih bermalas-malas di kamar. Di luar suara bocah-hocah melakukan tembak-tembakan. Sepertinya perang dunia ke-II belum selesai. Namun itu hanya sebuah permainan yang lebih sering dilakukan anak laki-laki.
Pantai ini milikku. Seolah-olah akulah "Robinson Crusoe" dalam novel fantasi dengan petualangan pertamanya menginjak kaki di benua Amerika. Sebuah novel yang luar biasa, memang. Tetapi aku adalah Robin. Nama yang sudah cukup akrab ditelinga Polisi, Tentara dan penduduk kota kecil ini, bahkan anjing-anjing kurus pun tahu kalau itu namaku. Nama pemberian orangtua ketika kematian penduduk sipil oleh militer Indonesia adalah satu hal yang lumrah.
Masih terlalu pagi. Suara burung gereja terdengar merdu di udara seperti radio berfrekuensi tinggi yang sedang menyebarkan berita tentang jatuhnya helikopter yang ditembak oleh gerilyawan Falintil di bawah gunung Perdido.
Laut datar seperti kaca yang didesain alam semalam. Ikan-ikan kecil melompat dalam tiga dimensi bahwa mereka ada dan hidup. Aku teringat dongeng Tuhan Yesus berjalan di atas laut. Mungkin itu hanya dongeng tentang sosoknya waktu itu supaya terus dipercaya dari jaman ke jaman. Karena cerita apapun filsafatnya bisa didramatisasi, lukisan kadang selalu tentang keindahan, kekuasaan, siapa pelukisnya, untuk siapa mereka melukis, menulis, berbicara.
Pasirnya hitam seperti kulitku tetapi menarik bagi pelajar yang mulai membuka lembaran baru atau sekedar menghabiskan sisa harinya untuk bercerita, berjalan tanpa tujuan, yang ada hanya kebahagiaan dan mengawali cerita baru. Perempuan setegah baya itu menampar pipi lelaki muda di pantai, hanya persoalan harga ikan dan ia merasa diperas.
Ibu Lusia. Perempuan yang bekerja keras mencari nafkah, mulai dari bisnis kecil-kecilan sampai Ia memiliki warung di kota Lospalos.
Menurut sepengetahuanku, usaha itu tidak berjalan langcar akhirnya pintu warungnya menutup diri untuk beberapa bulan karena penduduk lokal lebih suka makan masakan pendatang Jawa dari pada pribumi.
Aku menuggu rokok dibawah atap pasar. Ibu Lusia pagi itu datang dengan bapak tua. Awalnya aku tidak kenal, umurnya sekitar enam puluhan mungkin lebih. Rambut putihnya ditutup topi kusam yang jarang disentuh air. Aku jadi curiga, jangan-jangan permasalahan kemaring ibu Lusia membawa orang ketiga buat berjaga-jaga.
Dugaanku salah alamat. Lelaki tua itu tidak memiliki gigi, hanya bebera yang masih bertahan bersama umurnya yang mulai mendekati aroma kematian. Papa Luis. Panggilan akrabnya. Karakternya lebih cocok dalam sinetron Indonesia sebagai penjaga pintu tuan besar. Ia sering diolok-olok anak-anak nakal. Dia akan mengambil batu untuk melemparimu apabila memanggilnya "Laipui". Sepertinya nama itu sangat menghina harga dirinya.
Tetapi Ia akan dengan senang hati menjawabmu seandainya dipanggil "papa Luis" seolah-olah martabatnya diangkat atau terhormat seperti (papa/bapak) Camat, Kapolsek, Bupati.
Konon katanya Luis adalah sala satu TBO (Tenaga Bantuan Militer) ketika invasi orde baru di tahun 1975. Kecakapan bahasanya masih bagus untuk umur seperti dia. Bila ada tentara datang untuk berbelanja dia akan menyapa kemudian memperkenalkan dirinya dalam kujujuran dalam kesederhanaan. Dia menyapa siapa saja seperti "orang gila" dalam lagu Iwan Fals.
Beberapa tahun kemudian aku kembali ke pantai melihat sisa masa laluku dengan kawan-kawan sepermainan. Mungkin masih ada. Semua itu sudah sirna bersama deburan ombak, ditiup musim panas yang membakar. Pantai itu sepi, tidak seperti dulu lagi dengan teriakan bola...bola....suara-suara yang menawarkan harga ikan. Semua itu sunyi bersama hadirnya kesepian dalam kemerdekaan.
Tetapi senja itu matahari masih sama, rumput liar ditiup angin barat ke arahku.
Seolah-olah ingin menyapa kabarku, lama tak jumpa kawan lama. Yah.. Lama, cukup lama. Dua puluh tahun, lima lupuh tahun atau seratus tahun kau masih dalam kesunyian. Seekor kepiting kecil keluar dari lubang pasir melihatku seperti gadis desa yang malu-mulu kucing melihat bujangnya dari daun pintu sebentar lagi akan dilamar dengan kerbau.
Di sampingku, ada sebuah perahu kayu lolos dari kebakaran TNI dan milisi di pantai Lautem. Aku masih mencium aroma perempuan yang kupacari dulu.
Di perahu itu aku duduk menunggu, Ia datang dengan pertanyaan "lama kau tunggu?" Aku gugup sebentar untuk menjawabnya. Organ- organ tubuhku ada yang merasa terganggu. Nafasku menjadi pendek, sekujur tubuhku merasa gemetar seolah-olah aku telanjang bulat dihadapannya.
Di pantai ini aku berlutut melihat masa silamku sudah terkubur dengan prosesnya waktu. Manusia tidak bisa memutar waktu tapi mempelajari kembali setiap lembaran kehidupan. Di sini aku berdiri melihat laut biru, memeluk diri dalam sepi, ada cerita yang tidak nampak di permukaan bumi, tidak bisa dijelaskan dengan bahasa manusia. Semuanya dalam hening bersama senja sore itu dalam pasir berbisik.
Comments