top of page

London Di Titik Nol

  • Writer: Robin Dos Santos
    Robin Dos Santos
  • Aug 30, 2016
  • 5 min read

CAILØR MEDIA [Sebuah cerita berdasarkan kisah nyata masa lalu]

Pagi masih dingin, udara membeku, orang-orang mengenakan mantel tebal berbulu domba berjalan seperti abad ke 18. Di kafe itu, para pengunjung sibuk dengan diskusi ringan, kelihatannya mereka baru bertemu di kafe dibawah bola-bola salju. Perempuan itu baru turun dari bus berjalan dengan tas hitam. Ia terus melangkahkan kakinya ke kedai kopi. Pintu dibuka, duduk memesan teh hangat dengan sepotong roti coklat. Matanya terus melihat ke luar jendela, sepertinya ia menunggu seseorang. Kadang-kadang tanganya mengambil hape untuk memastikan bahwa hapenya belum rusak. Yah.. Begitulah zaman sekarang, manusia tidak bisa terlepas dari benda itu. Ia duduk melamun dengan potongan rambut seperti artis pop Lady Gaga, namun potongan rambutnya lebih pas dalam film kartun buatan kartunis Jepang klasik. Penampilannya cukup menarik mengoda lelaki manapun, warna kulitnya yang hitam cokelat membuat suasana kedai itu lebih menyenangkan dengan alunan musik jazz era 80-an yang dimainkan musisi kulit hitam berbibir tebal. "Halo… kau dimana? Aku sudah di sini dengan kehangatan". Jawab perempuan itu. Raut wajahnya mulai berbeda, rasa senang dan bahagia seperti susu dengan coklat. Lalu, ia mengambil benda kecil dalam tasnya. Yah..cermin kecil yang selalu dibawa bila bepergian. Ia bercermin diri untuk memastikan bahwa setelah lima menit di kedai ini, wajahnya masih sama, tidak ada yang hilang atau tertinggal di apartemennya. Pintu dibuka lagi. Lelaki itu masuk dengan udara dingin London. "Maaf, aku telat, ketinggalan bus tadi." ucap lelaki itu untuk memperkuat alasanya. Lima belas menit telah berlalu, belum ada yang membuka mulut, semua diam sejenak, seolah-olah dunia dalam koma. Lelaki itu seperti bunga pemalu, bila disentuh ia menutup diri. Padahal dalam teori komunikasi modern sekalipun, pertemuan manusia dengan manusia setidaknya ada ucapan; hai, apa kabar, kau beda sekarang. Teori ini tidak berfungsi di tempat ini. "Kita bukan berpacaran bukan?" Kata perempuan itu seolah-olah ada teman-teman yang cemburu.. "yah.. Aku juga tidak menyangka kalau kita berpacaran. Kita kan hanya nge-date sebagai teman sejak kita masih anak-anak" Perempuan itu baru senang, masa lalu mereka terulang kembali di London dalam udara dingin. "Boleh aku bertanya sesuatu padamu?" Tentu. Jawab lelaki itu sambil memesan kopi hitam. "Kenapa kau suka mengejariku sampai di benteng?" Lelaki itu diam sejenak. Ia benar-benar membeku dengan udara dingin. Bahkan hanya untuk menjelaskan masa lalu mereka susah banget, seperti dalam ujian nasional. Ia berfikir dan berjalan kebelakang dalam dua puluh lima tahun silam, suatu bab dalam cerita roman picisan yang belum tamat bagi dia. Mungkin bagi sebagian orang cerita tentang kehidupan dan manusia sudah selesai, tetapi bagi mereka cerita baru dimulai seperti dalam novel terkenal Romeo dan Juliet. "Aku bahagia bisa bertemu denganmu setelah konflik berkepanjangan antara partai, suku dan organisasi" Perempuan itu tidak puas karena itu bukan jawaban yang ditunggu selama sekian tahun. Lelaki itu merasa terpojok dalam situasi itu. "Baiklah, mungkin dulu aku….." Tiba-tiba hapenya berdering. Lalu dia berhenti menjelaskan alasanya. "halo… aku masih di luar, di kedai kopi, sama ….sama teman. Teman, teman lama. Sulit untuk dijelaskan, ceritanya panjang bangat, nanti saja setelah kita….. Teman sejak SD." Dia mematikan teleponnya. Reaksi perempuan itu sedikit berbeda. "Pacarmu yang tadi nelpon?" tanya perempuan itu untuk kepastian. "Bukan. Teman." "Pacar juga aku tidak cemburu. Eh.. Maaf, maksud aku, aku tidak marah, sorry tidak masalah, no problem." reaksi perempuan itu seperti kehilangan hape. Perempuan itu jadinya bingung mau biacara apa, seolah-olah ia ngedate dengan pacar orang. Lelaki itu diam menatap ke luar jendela, rupa-rupanya karakternya belum berubah walau melewati gelombang kehidupan yang panjang. Pada mulanya, semua kisah ini terjadi pada masa kanak-kanak mereka. Masa dimana cinta masih tabu dimata orang tua dan guru-guru sekolah. Mereka berjumlah empat orang yang dulunya teman akrab. Lelaki yang tidak hadir di sini bernama Thomas, dan juga perempuan bernama Elizabet tidak tahu dunianya. Dua puluh lima tahun yang lalu, Thomas menyimpan perasaan cinta pada perempuan di kedai kopi itu, hanya saja sulit untuk dijelaskan sebab kini menghilang bersama waktu. Kala itu, Thomas selalu mencari perhatian padanya. Ketika mereka tamat Sekolah Dasar dengan nilai ujian "ebtanas" yang tidak terlalu buruk seperti wajah Thomas. Di sekolah baru itulah Thomas mulai menujukan kejantananya, berkali-kali ia mencoba berpihak pada perempuan yang sudah lama jadi temannya. Bahkan untuk membelanya dengan fisiknya pun ia mau, asal ia bisa mendapat cintanya yang murni. Thomas sebenarnya lelaki pemberani namun dihadapan perempuan dengan kecantikan seperti dalam lukisan Eropa klasik ia jadinya kaku, minder dan pesimis. Kadanga dia jadi tidak percaya diri karena Thomas bukan tipe lelaki idamannya bila berjalan bersamanya setelah bel sekolah berbunyi. Itu sebabnya ia kehilangan kesempatan emas yang ditunggu-tunggu. 1996, suasana pasar Lautem sibuk bisnis dengan orang-orang gunung yang datang berjualan. Perempuan itu mengajak Thomas untuk pergi bersamanya ke kota. Nah, soal rusan nilai, perempuan itu lebih pintar dari Thomas. Mereka pergi dengan angkutan umum. Hati Thomas berbunga-bunga. Awalnya Thomas dengan kejujurannya tidak memiliki uang tapi perempuan itu bilang nanti dia bayar. Rasa malu dan senang bercampur jadi satu. Mobil angkutan itu berhenti di depan toko satu, mereka turun dengan gembira. Tiba-tiba tangan perempuan itu memegan tanganya kemudian menyebrangi jalan dengan hati-hati, seolah-olah Thomas buta mata. Itulah pertama kali tangan Thomas dipegang seorang perempuan cantik dan pintar pula. Rupa-rupanya tangannya lebih halus seperti kain sutra dari Jepang. Mimpi apa aku semalam. Katanya dalam hati. Mereka ke kantor pos karena dia memiliki rekening uang. Setelah kesibukan di kantor pos selesai perempuan itu mengajaknya berjalan-jalan, ia belikan roti kering dan es untuk membunuh udara panas kota Lospalos. Pada akhir tahun1999, setelah konflik membumihanguskan oleh ABRI dan milisi pro Jakarta, Thomas menemukan jejaknya kembali ke Lautem melihat masalalunya bersama perempuan idaman telah sirna. Di pantai, sebuah kapal kayu sayap-sayapnya patah. Tempat itu jadi sepi dan sunyi. Ia menyesal atas ketidakpercayaannya terhadap realitas kehidupan masalalunya, lalu menulis ditembok-tembok kranton putih, berteriak dalam udara kesepian, berlari ke hutan kemudian ke pantai. Aku mencintaimu kawan. Aku kira kau juga memiliki perasaan sepertiku. Maafkan, aku tidak sempat katakan itu padamu di pantai ini. Waktu terlalu cepat membunuh segala yang kita miliki. Aku lelaki tolol yang tidak tahu arti cinta. Thomas berteriak sampai-sampai suaranya meledak di langit biru. Bagi Thomas, kehilangan seseorang bukan berarti kehilangan cerita, kehilangan sejarah suatu bangsa karena dari sanalah kita ada lalu tiada tanpa nama, hilang tanpa jejak. "Kau tahu dimana Thomas sekarang?" tanya perempuan itu setelah sekian menit diam. "Maaf, aku tidak tahu. Setahuku, dia tetap dengan prinsipnya memilih merdeka, aku dengan orangtuaku mengungsi ke barat karena dipaksa militer. Sepulang dari Barat aku tidak pernah bertemu dia lagi. Menurut cerita kawan-kawannya Thomas ditangkap milisi pada sore hari ketika sebagian penduduk datang ke Lautem untuk mengambil sisa-sisa beras, sejak itu ia hilang bersama waktu. Perempuan itu duduk menatap ke luar dalam kesedihan, lalu mengabil selembar foto empat kali empar berwarna hitam putih. Memori itu masih ia simpan hingga sekarang. Tahun 1996 mereka berdua di dalam kantor mengumpulkan foto untuk ujian nasional, mereka saling melempar senyum, saling menukar foto. Untung saja kepala sekolah yang botak tidak melihat aksi nakal mereka. Thomas itu orangnya baik. Perempuan itu memujinya, lalu melanjutkan ceritanya sambil meminum tehnya. Mudah bergaul dan pandai mengambil hati perempuan. Sebenarnya perempuan itu tidak perlu kecakapan, bila seseorang itu berhati baik dan menghargai perempuan aku kira perempuan manapun akan tergila-gila dengan karakter itu. Jarum jam terus berputar, mereka berdiri dengan waktu. Perempuan itu berdiri lalu ucapkan, terimah kasih kawan untuk waktumu hadir di sini. Kita tahu masa lalu bukanlah jarum jam di dalam studio, masa lalu sudah selesai disatu bab, disatu cerita. Mereka keluar menyebrangi jalan, tiba-tiba tangan perempuan itu memegang erat tangan kawan lamanya yang kenal di dunia sosial. Mereka berdua baru memulai kehidupan baru. London di titik nol. "Siapa namamu" tanya lelaki itu. Perempuan itu tertawa lalu menjawab. "Namaku, Cinta. Kau tahu artinya?" "Tidak" jawab lelaki itu. "Ciuman Itu Nikmat Tiada Akhirnya. "Kamu hebat dengan kata-kata. Kamu tahu kenapa dulu aku suka mengejarimu?" "Tadak" . Jawab Cinta. Karena aku mencintaimu diusiaku yang baru 12 tahun." Lalu mereka berdua berpelukan dan menghilang di pojok kedai kopi itu dalam udara dingin.

ROBIN dos Santos

Cerpenis dan filmmaker yang berdomisili di Melbourne.

Menulis sama halnya orang minum kopi di pagi hari.

Aku tidak menulis untuk uang tetapi untuk kemanusiaan yang lebih adil.

Melalui seni tulis kita bisa bercermin bahwa belajar untuk memahami itu lebih penting untuk masa depan manusia.


 
 
 

Opmerkingen


You Might Also Like:

Moris ne'e bele furak liu kuandu ita tur hanoin hakerek istória kona ba Moris

11907228_10204879682775868_4676107032465375414_n
11924540_1459127931060628_8522374473661884400_n
13923337_1557335427906544_3769815728287495242_o
585793_b80ad6aa0321455d929a7e9a312396af~mv2
1421066_782071731936315_2518368299051110303_o
585793_cfebd326d0ac47dca01d08af5889eab4~mv2
14.12.09_TimorLeste_5_700px
12801116_1059122620818929_6601372839606594556_n
10387390_768764606521400_1219899391531113655_n
14034689_10154480630844190_7982650787613691401_n-1
Kona ba ha'u 

Ha'u, ema ne'ebé gosta hakerek nomos le livru.

Hau halo mós video konta istória. Hakerek hanesan deit 

ema hemu kafé iha dadersan. Hau kria web/blog ida ne'e atu halibur ema hotu fahe sira nia hanoin, kreatividade liu hosi ARTE hakerek.

Ida ne'e hanesan ha'u nia kontribusaun hakerek literatura ba gerasaun foin saé Timor-Leste.

 

Read More

 

Search by Tags

© 2023 by Going Places. Proudly created with Wix.com

bottom of page